WELCOME . . .

Selamat datang di tempat menuangkan pikiran milik Ary Radmono . . .

Thursday, May 28, 2009

Mutiara Hikmah

Bismillahirrahmanirrahim,,

Hari Jum'at gak bisa kemana-mana.

Tubuh lemas . . .

Badan sakit semua . . .

Nggak bisa ikut mata kuliah Kalkulus 2...

Nggak bisa pergi ke Masjid...

Apakah ini kebaikan yang diberikan oleh Tuhanku,

Karena selama ini aku terlalu memaksakan diriku untuk bekerja keras...

Apa aku diminta istirahat sebentar,,

Alhamdulillah atas semua pemberianMu Ya Rabb...

Mungkin dengan sakit ini aku akan jadi orang yang lebih baek...

Amin...

Friday, May 22, 2009

Tanpa Judul

bismillahirahmanirrahim,

alhamdulillahi rabbil ‘alamin,

Segala puji hanya bagi Allah,tiada Ilah yang patut disembah kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.Ya Rabb hari ini hamba bingung.hamba tak tau harus apa dengan perasaan yang sedang bergelayut di qalbu ini.

Allahumma inni uhibbuhu fa’a hibbahu

Aku jadi ingat sebuah konsep manusia:

Cinta itu tak harus memiliki

Benarkah begitu?????

Aku Ragu…..

Apa jadinya sebuah cinta jika tak memiliki,itu seperti omong kosong.

Emang sih,cinta manusia itu tak bisa dipaksa.tapi, kalau yang memaksa Rabb Semesta Alam???????????? Mau apa?????????????YA NURUT AJA.

Apa manfaatnya buatku lama menunggu???

Apa Allah menguji kesabaranku, untuk sesuatu yang besar buatku???

Satu lagi sebuah konsep Ilahiyah yang ku ingat.

“Allah Aza wa Jalla selalu memberikan yang terbaik untuk ummat-Nya”

Yang namanya konsep Ilahiyah,tak perlu lagi diuji kebenarannya.

Ia sejuta persen pasti benar.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-._

Ada muslim yang berdoa:

“Ya Allah,berikanlah yang terbaik untukku”

Apa doa ini tepat?Khan sesuatu yang datangnya dari Allah adalah yang terbaik buat kita. Kalau doaku begini:

“Ya Allah,Rabb semesta alam. Semoga ia itu yang terbaik untukku,jika tidak, jadikanlah ia yang terbaik untukku. Teguhkanlah pendirianku. Rahmati hamba dalam menjalankannya dan berilah petunjukMu agar hamba mudah melaluinya”

Mungkin bagi sebagian orang,doa ini “memaksa” Tuhan untuk mengikuti kehendak kita. Khan doa itu sebuah harapan. Jadi……………………..

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Satu hal lagi, kalau belum ada kepastian dariNya (satu tanda saja mungkin cukup buatku) pasti hati ini akan tetap tak tenang.


Istirahat, tenangkan pikiran dan hati agar meraih pagi yang indah.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin……

(adapted from my blog at friendster)

Monday, May 18, 2009

Jauhilah Ilmu yang Tidak Bermanfaat

Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata:
“Ilmu yang dibenci untuk dipelajari serta disebarkan adalah ilmu orang-orang terdahulu (ilmu tentang konsep ketuhanan menurut orang-orang jahiliah dan ahlul kitab, pent.). Juga ilmu ketuhanan menurut filosof berikut sebagian bahkan mayoritas aktivitas mereka: ilmu sihir, ilmu sulap, ilmu kimia (yang tidak bermanfaat, ed), ilmu perdukunan, ilmu tipu muslihat, dan usaha penyebaran hadits-hadits palsu serta seluruh kisah batil ataupun munkar, sejarah kepahlawanan-kepahlawanan rekaan dan yang semisalnya, risalah-risalah pengikut paham tasawuf (sufi) berikut syair-syair yang mengandung celaan terhadap kemuliaan nubuwah, serta ilmu-ilmu batil lainnya yang sangat banyak.
Karena itu berhati-hatilah! Barangsiapa dari kalangan para cendekiawan yang diuji untuk melakukan penelitian dalam ilmu-ilmu tersebut karena kelapangan dan keilmuannya hendaklah mempersedikit upaya untuk itu dan menelaahnya untuk dirinya sendiri, dan hendaklah dia meminta ampun kepada Allah l dan bersandar kepada tauhid serta berdoa meminta keselamatan dalam agamanya.
Demikian pula hadits-hadits palsu yang sangat banyak jumlahnya, yang memuat tentang sifat-sifat Allah l. Tidak halal untuk disebarluaskan kecuali dalam rangka tahdzir (memperingatkan manusia) supaya tidak meyakininya. Jika memungkinkan untuk meniadakannya, maka itu lebih baik lagi.”
“Ya Allah, jagalah keimanan kami.... Tiada kekuatan kecuali kekuatan Allah semata.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ’Ilmi hal. 55-56)

Jagalah Lisanmu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlimpah kepada kita tiada terbilang hingga kita tidak mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim: 34)
Dia Yang Maha Suci juga berfirman:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Dan Dia telah mencurahkan nikmat-Nya yang lahir dan yang batin kepada kalian.” (Luqman: 20)
Di antara sekian banyak nikmat-Nya adalah lisan atau lidah yang dengannya seorang hamba dapat mengungkapkan keinginan jiwanya.
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata, lisan, dan dua bibir?” (Al-Balad: 8-9)
Dengan lisan ini, seorang hamba dapat terangkat derajatnya dengan beroleh kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, ia juga dapat tersungkur ke jurang jahannam dengan sebab lisannya. Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 6478)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)
Dalam riwayat Muslim:
أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“…lebih jauh daripada antara timur dan barat.”
Yang disesalkan dari keberadaan kita, kaum hawa, sering menyalahgunakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa lisan ini. Lisan dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang membinasakan pengucapnya. Ghibah, namimah, dusta, mengumpat, mencela dan teman-temannya, biasa terucap. Terasa ringan tanpa beban, seakan tiada balasan yang akan diperoleh. Membicarakan cacat/cela seseorang, menjatuhkan kehormatan seorang muslim, seakan jadi santapan lezat bagi yang namanya lisan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
الْـمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْـمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan, “Kaum muslimin selamat dari lisannya di mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka, tidak mengghibah dan menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan satu macam kejelekan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan lisannya. Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit bagi seseorang. Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.”
Beliau rahimahullahu juga menyatakan, “Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya bagi seseorang. Karena itulah, bila seseorang berada di pagi harinya maka anggota tubuhnya yang lain, dua tangan, dua kaki, dua mata dan seluruh anggota yang lain mengingkari lisan. Demikian pula kemaluan, karena pada kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan ada syahwat kalam (berbicara). Sedikit orang yang selamat dari dua syahwat ini. Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah, tidak berbuat namimah dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia adalah orang yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan sebagian manusia –wal ‘iyadzubillah– bila mendengar kejelekan saudaranya sesama muslim, ia melonjak kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di negerinya. Orang seperti ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya).” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/764)
Lisan yang berpenyakit seperti ini banyak diderita oleh kaum hawa, sehingga mereka harus banyak-banyak diperingatkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara lisan mereka. Ketahuilah, karena bahayanya lisan bila tidak dijaga oleh pemiliknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjamin surga bagi orang yang dapat menjaga lisan dan kemaluannya. Sahl bin Sa’d radhiyallhu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)1 dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)2 maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)
Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka diamlah niscaya itu lebih selamat. Karenanya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)
Al-Imam Al-Hakim rahimahullahu meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallhu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke bibirnya dan berkata:
الصُّمْتُ إِلاَّ مِنْ خَيْرٍ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذٌ: وَهَلْ نُؤَاخَذُ بِمَا تَكَلَّمَتْ بِهِ أَلْسِنَتُنَا؟ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَخِذَ مُعَاذٍ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُعَاذُ، ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ -أَوْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ- وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي جَهَنَّمَ إِلاَّ مَا نَطَقَتْ بِهِ أَلْسِنَتُهُمْ؟ فَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ عَنْ شَرٍّ، قُوْلُوْا خَيْرًا تَغْنَمُوا وَاسْكُتُوْا عَنْ شَرٍّ تَسْلَمُوْا
“Diamlah kecuali dari perkataan yang baik.” Mu’adz bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul paha Mu’adz, kemudian bersabda, “Wahai Mu’adz, ibumu kehilangan kamu3”, atau beliau mengucapkan kepada Mu’adz apa yang Allah kehendaki dari ucapan. “Bukankah manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka ke dalam jahannam tidak lain disebabkan karena apa yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka? Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau ia diam dari berkata yang jelek. Ucapkanlah kebaikan niscaya kalian akan menuai kebaikan dan diamlah dari berkata yang jelek niscaya kalian akan selamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/460)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menasihatkan, “Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu kalimat, ia merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam jiwanya sebelum mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya maka ia berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya.” (Al-Minhaj, 18/318)
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam kitabnya Jami'ul 'Ulum wal Hikam (1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu ‘anhu memegang lisannya dan berkata, “Ini yang akan mengantarkan aku ke neraka.”
Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.”
Ingatlah saudariku, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma tentang ayat di atas, “Malaikat itu mencatat setiap apa yang diucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/308)
Ingatlah, semuanya tercatat dan tersimpan dalam catatan amalmu. Maka berbahagialah engkau bila catatan amalmu dipenuhi dengan kebaikan, ucapan yang baik dan amal shalih. Tentunya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa surga kan menanti…
Sebaliknya celaka engkau bila catatan amalmu dipenuhi ucapan kosong, sia-sia lagi mengandung dosa dan amal yang buruk. Tentunya ancaman neraka menanti…
Bila demikian keadaannya ke mana engkau hendak menuju, ke surga ataukah ke neraka? Tentu tanpa ragu engkau ingin menjadi penghuni surga. Maka, jangan biarkan lisanmu menggelincirkanmu ke dalam jurang kebinasaan yang tiada bertepi.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Maksudnya, ia menunaikan kewajiban lisannya berupa mengucapkan apa yang wajib diucapkannya atau diam dalam perkara yang tidak bermanfaat.
2 Ia menunaikan kewajiban kemaluannya dengan diletakkan pada tempat yang halal dan menahannya dari yang haram. Demikian diterangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari (11/374-375).
3 Kalimat seperti ini biasa diucapkan orang-orang Arab namun mereka tidak memaksudkan maknanya.

Ibarat Mengukir di Atas Batu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.

Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah.
Begitulah memang. Dari sejarah kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala– apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.
Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:
مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ
“Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)
Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.
Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:
كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ
“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)
Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:
مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا
“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)
Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:
كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.
“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)
Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)
Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ
“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)
Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.
Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)
Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)
Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.
Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)
Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas.
2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.
3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia.

Nilai Eksistensi Sebuah Do'a

Negeri Arab khususnya dan dunia pada umumnya sebelum diutusnya Muhammad Shalallahu ?alaihi wassalam dipenuhi dengan kesesatan, penyimpangan, dan kebodohan, terlihat dari semaraknya penyembah batu-batuan dan pohon-pohon, pengingkaran terhadap hari kebangkitan, mempercayai perdukunan, tukang sihir, dan paranormal hingga penyimpangan yang sifatnya kemanusiaan, sosial, dan politik.
Allah Subhanahu wa Ta?ala menghendaki rahmat atas hamba-hambaNya, menolongnya dari kesesatan menuju hidayah, maka Allah mengutus seorang Rasul kepada mereka dari kalangannya sendiri yang mereka telah mengenal akhlaqnya, kejujurannya, serta amanahnya. Allah berfirman,
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Al-Jum'ah: 2).
Awal mula yang diserukan oleh Rasulullah Shalallahu ?alaihi wassalam adalah seperti halnya Rasul-Rasul lainnya, menyeru untuk memurnikan ibadah kepada Allah 'azza wajalla dan meninggalkan peribadahan selainNya. Allah berfirman,
"Dan Kami tidak mengurus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada tuhan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al- Anbiyaa: 25).
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan: Sembahlah Allah saja dan jauhilah thoghut." (An-Nahl: 36).
Inilah pembuka dakwah para Rasul, karenanya ia adalah pondasi yang dibangun di atasnya bangunan-bangunan lain, jika pondasinya rusak maka tak ada guna cabang-cabang lainnya, tidak ada manfaatnya sholat, puasa, haji, dan shodaqoh, serta seluruh ibadah-ibadah lainnya. Apabila pondasi telah cacat dan tauhid sudah berantakan tidak ada faidahnya amalan-amalan lainnya. Allah berfirman,
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (Al Kahfi: 110).
Allah juga berfirman,
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (Al An'am: 88). "
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu, jika kamu berbuat syirik niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az Zumar: 65).
Sungguh seluruh penduduk bumi amat sangat membutuhkan akan risalah yang dibawa olehnya Shalallahu ?alaihi wassalam daripada kebutuhan mereka terhadap air hujan, sinar matahari, serta seabreg kebutuhan-kebutuhan lainnya, karena tidak ada kehidupan hati, kenikmatannya, kelezatannya, dan kebahagiaannya bahkan tak ada ketenangan hati dan tuma'ninahnya kecuali dengan mengenal Rabbnya, yang diibadahinya, dan Penciptanya dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya, sehingga menjadikanNya lebih dicintai daripada selainNya, menjadikan segala usaha-usahanya dalam hal-hal yang akan mendekatkan diri padaNya dan keridhoanNya.
Para pembaca semoga dirohmati Allah, doa adalah salah satu dari bentuk ibadah di samping ibadah badaniyah - seperti sholat, maaliyah - seperti zakat, atau ibadah maaliyah badaniyah - seperti haji, sebab ibadah adalah satu kata yang memiliki cakupan luas setiap apa yang dicintai dan diridlai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan lahir maupun batin. Sepele memang nampaknya masalah doa ini, tetapi ironisnya banyak di antara kaum muslimin - kalau tidak keseluruhannya - berbeda-beda dalam hal menyikapinya, mengaplikasikannya, dan tata cara pelaksanaannya, wallahul musta'an.
Tidak dipungkiri kalau di sana masih banyak yang menganggap bahwa doa itu bukan termasuk ibadah, dengan kenyataan tak sedikit yang memohon di hadapan kuburan orang yang dianggap sholih, memohon di hadapan batu besar yang dikira memiliki keanehan, manggut-manggut di hadapan pohon besar yang tak dapat melihat dan mendengar. Tidak mustahil kalau di sana masih ada yang merasa tidak butuh kepada doa karena kesombongannya dan tak ada keimanannya. Satu perkara yang tidak dapat dipungkiri pula bahwa sebagian kaum bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam hal doa dan cara berdoa. Wa ilallahil musytaka.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, ketahuilah bahwa mayoritas orang-orang yang terjerumus ke dalam kemusyrikan, pangkal kesyirikannya ialah berdoa kepada selain Allah. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ?alaihi wassalam bersabda,
"Doa itu adalah ibadah." (HR Ahmad 4/267, Tirmidzi 5/426, Al Hakim dalam Mustadrak 1/491 dan menshohihkannya, dan disepakati oleh Al Imam Adz Dzahabi, dari sahabat Nu'man bin Basyir RA). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang mati sedang ia berdoa kepada tandingan-tandingan selain Allah, maka akan masuk neraka." (HR Al Bukhori no 4497 dari sahabat Abdullah ibnu Mas'ud). Hadits ini menerangkan bahwa doa adalah bagian dari ibadah-ibadah yang paling agung, termasuk ke dalam hak-hak Allah yang paling mulia, dimana jika seorang hamba memalingkannya kepada selain Allah dengan demikian ia berarti telah musyrik, telah menjadikan bagi Allah tandingan-tandinganNya dalam hal uluhiyahNya.
Namun apabila seseorang meminta doa kepada orang lain yang sholih, kemudian masih hidup, dan dalam perkara-perkara yang dimampuinya, maka tidaklah termasuk kemusyrikan, hal ini dibagi menjadi beberapa bagian di antaranya:
Pertama: meminta doa kepada seorang yang sholih untuk kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti ini dibolehkan, dengan dalil hadits Anas tentang seorang laki-laki yang meminta doa dari Rasulullah Shalallahu ?alaihi wassalam agar diturunkan hujan.
Kedua: meminta doa kepada orang lain untuk kemaslahatan dirinya, sebagian ulama membolehkan hal ini dan yang lainnya menyatakan tidak semestinya, karena dikhawatirkan termasuk dalam bab meminta-minta kepada orang lain dan dikhawatirkan pula yang meminta doa akan bersandar kepada doa orang lain sedang dia lupa mendoakan dirinya sendiri. (Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Majmu'ul Fatawa jilid ke-1).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, Allah Subhanahu wa Ta?ala dengan jelas menyatakan bahwa doa itu adalah ibadah. Allah berfirman,
"Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepadaKu niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al Mu'min: 60).
Adapun sisi pendalilah dari ayat ini yang menunjukkan bahwa doa itu adalah ibadah sebagai berikut:
Pertama: dalam ayat ini Allah telah memerintah dengan firmanNya, "Berdoalah kepadaKu." Sedangkan Allah tidak akan memerintah kecuali yang wajib atau mustahab.
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta?ala menyebutnya sebagai ibadah, dengan firmanNya, "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu."
Ketiga: Allah Subhanahu wa Ta?ala membalas hamba-hambaNya yang berdoa dengan pengkabulan atas doa-doanya, dengan firmanNya, "Berdoalah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagimu."
Berkata Ibnul Araby Al Maliki rohimahullah, "Segi penamaan doa dengan ibadah sangatlah jelas, karena terkandung di dalamnya pengakuan dari seorang hamba akan ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya, sedangkan segala kekuasaan dan kekuatan hanyalah milik Allah, yang demikian itulah ketundukan dan kepatuhan yang sempurna."
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, di dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa Ta?ala mencegah dari berdoa kepada selainNya. Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zholim." (Yunus: 106).
Dan Allah berfirman,
"Maka janganlah kamu menyeru tuhan yang lain di samping Allah yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diadzab." (Asy Syu'araa: 213).
Pada ayat lain Allah menjelekkan perbuatan orang-orang musyrikin berdoa kepada selain Allah. Allah berfirman,
"Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan sekarang ini adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaanNya dan menurunkan untukmu rizki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya." (Al Mu'min: 12-14).
Memurnikan ibadah kepadaNya adalah memurnikan doa kepadaNya. Allah Subhanahu wa Ta?ala menghukumi dengan kesesatan dan kerugian atas orang-orang yang berdoa kepada selainNya. Allah berfirman,
"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan doanya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari memperhatikan doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan pada hari kiamat niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka." (Al Ahqaaf: 5-6).
Dan Allah berfirman,
"... yang berbuat demikian itulah Allah Tuhanmu kepunyaanNyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Faathir: 13-14).
Seluruh nash-nash ini dan yang semisalnya di dalam Al Quranul Karim maupun sunnah yang suci sebagai penjelasan bagi orang-orang yang Allah bukakan penglihatannya dan terangkan hatinya serta lapangkan dadanya tentang betapa pentingnya doa dan begitu tinggi kedudukannya dalam aqidah al Islamiyah.
Dengan tingginya kedudukan doa dalam aqidah al Islamiyah, maka Allah mengancam orang-orang yang tidak tunduk padaNya dengan doa.
Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al Mu'min: 60).
Jadi sikap sombong dari berdoa kepada Allah dan menyelewengkan doa kepada selain Allah adalah bentuk kemaksiatan yang besar terhadapNya.
dan sebagai bentuk pembangkangan serta pendustaan terhadap nabi-nabiNya dan Rasul-RasulNya dimana telah sepakat risalah dan dakwah mereka menyeru kepada wajibnya mengesakan Allah dalam hal ibadah dan yang paling besarnya di antara ibadah itu adalah doa.
Sebagaimana halnya ibadah-ibadah lain memiliki cara dan etika, maka berdoapun demikian tak lepas dari itu, sebab kita mesti pahami bahwa agama itu adalah kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan olehNya dan oleh RasulNya Shalallahu ?alaihi wassalam, sebagai contoh misalnya suatu ketika Rasulullah berwudlu, kemudian setelah selesai darinya beliau mengatakan, "Ini adalah wudluku dan wudlu para nabi sebelumku, barangsiapa menambahi atau bahkan mengurangi maka ia telah berbuat jahat dan zholim."
Contoh lainnya saat Rasulullah mengatakan, "Sholatlah kalian seperti kalian telah melihat aku sholat." Demikian pula dengan pernyataan beliau, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka akan tertolak." Dan begitu banyak contoh-contoh lainnya dalam hal ini. Maka Allah Subhanahu wa Ta?ala jelaskan etika berdoa itu dalam firmanNya,
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al A'raaf: 55).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, betapa besar karunia dan kasih sayang Allah kepada makhlukNya, menjaga, memelihara, Maha Melihat, dan Maha Mendengar, sungguh benar apa yang dikatakan dalam sebuah syair:
Allah akan marah jika engkau tinggalkan meminta padaNya
Sedang Bani Adam jika dipinta akan marah.
Sudah semestinya memang kita selaku hambaNya yang fakir untuk meminta kepada Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah, segala urusan hanyalah milik Allah dan akan dikembalikan kepadaNya. Allah berfirman,
"KepunyaanNyalah kerajaan langit-langit dan bumi. Dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan." (Al Hadid: 5).

Wallahu a'lam bishshowab wal ilmu indallah.

Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada Pemberontakan Bersenjata


Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih As-Sadlan ditanya: “Wahai syaikh, menurut pemahaman saya, Anda tidak mengkhususkan pemberontakan itu hanya dengan pedang tetapi termasuk juga pemberontakan yang dilakukan dengan lisan?”

Beliau menjawab:
“Ini pertanyaan penting karena sebagian dari saudara-saudara kita telah melakukannya dengan niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan itu hanya dengan pedang saja. Padahal pada hakekatnya pemberontakan itu tidak hanya dengan pedang dan kekuatan saja, atau penentangan dengan cara-cara yang sudah diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan (ucapan) justru lebih dahsyat dari pemberontakan dengan senjata karena pemberontakan dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari pemberontakan dengan lisan.
Maka kita ucapkan kepada mereka saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi yang kami berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka berniat baik -Insyaallah Ta’ala- agar mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada mereka: tenang dan sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan membawa dampak yang jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan emosi yang tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu juga akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk mengucapkan apa yang dikehendaki oleh hawa nafsunya apakah hak ataupun batil.
Tidak diragukan lagi bahwa memberontak dengan lisan, atau dengan menggunakan pena dan tulisan, dengan penyebaran kaset-kaset, tabligh akbar, maupun ceramah-ceramah umum dengan cara membakar emosi massa, serta tidak dengan cara yang syar’i, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar (pemicu) lahirnya pemberontakan dengan senjata.
Saya memperingatkan dari perbuatan seperti ini dengan sekeras-kerasnya peringatan, dan saya katakan kepada mereka: “Kalian harus melihat dan mempertimbangkan apa hasilnya? Dan hendaklah melihat kepada pengalaman orang yang telah melakukan sebelumnya dalam masalah ini!” Hendaklah mereka melihat kepada fitnah-fitnah yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah sebabnya? Apakah langkah pertama sehingga mereka sampai kepada keadaan yang seperti ini. Jika kita telah mengetahui yang demikian maka akan kita ketahui bahwa memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan kekerasan akan melahirkan fitnah dalam hati.” (lihat ‘Ulama Su’udiyyah Yu’akkiduna ‘Alal Jama’ah Wa Wujubus Sam’i Wath Tha’ah Li Wulatil Amri, hal. 5-6)

Saturday, May 16, 2009

Perasaan hatiku

Mungkin lagu yang sesuai untukku saat ini adalah lagu ini :


Jangan dekat atau
Jangan datang kepadaku lagi
Aku semakin tersiksa
Karena tak memilikimu
Ku coba jalani hari dengan pengganti dirimu
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu


Mengapa semua ini
Terjadi kepadaku
Tuhan maafkan diri ini
Yang tak pernah bisa
Menjauh dari angan tentangnya


Namun apalah daya ini
Bila ternyata sesungguhnya
Aku terlalu cinta dia
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu
Mengapa semua ini terjadi kepadaku

Aku terlalu cinta dia...

Faghfirliy...

Malam ini semakin larut,
aku pun larut dalam keheningan malam,
dalam kesendirian,

Ingin rasanya menumpahkan seluruh rasa yang bersarang dalam dada,
tapi apa daya,
aku hanya bisa meluapkan perasaanku kepada Tuhanku,

Hanya Dia yang selalu setia mendengar,
Mendengar setiap curhatku,
Mendengar setiap keluh kesahku,
Mendengar setiap doaku,
Merndengar setiap jeritan hatiku,

Terima kasih Wahai Tuhanku,
Atas segala nikmatMu,

Maafkan aku Wahai Tuhanku,
Atas segala kesalahanku,
Aku terlalu sering menduakanMu,

Faghfirliy,,,,

Friday, May 08, 2009

Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu’?

Penulis : Ustadz Abu Ishaq Muslim

Tanya:
Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi'iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta'lim-ta'lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu'. Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(Abdullah di Salatiga)

Jawab:
Masalah batal atau tidaknya wudhu' seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu' seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya'bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.

Syaikh Muqbil rahimahullahu ta'ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut :

Beliau ditanya: "Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu', baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya ataupun selainnya?" Maka beliau menjawab: "Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu'jamnya dari Ma'qal bin Yasar radliyallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.

Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.

Mengenai masalah membatalkan wudhu' atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu' menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah 'azza wa jalla :
“Atau kalian menyentuh wanita “

Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima' sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma.
Telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya dari 'Aisyah radliyallahu'anha, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan beliau. Apabila beliau akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu' Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu' berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadits Mu'adz bin Jabal radliyallahu 'anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita”. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdiam sampai Allah 'azza wa jalla turunkan:

“Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan. “

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya :
“Berdirilah, kemudian wudhu' dan shalatlah dua rakaat. “

Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan 'Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu'adz bin Jabal. Ini satu sisi permasalahan. Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak menjadi dalil bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu', karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu'. Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu', dan engkau telah mengetahui bahwa Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma menafsirkan ayat ini dengan jima'. Wallahul musta'an.

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH SAKIT

Pendahuluan

Orang yang sedang ditimpa penyakit tidak perlu dicekam rasa takut selama ia mentauhidkan Allah dan menjaga shalatnya. Bahkan, meskipun di masa sehatnya ia banyak berkubang dalam dosa dan maksiat, karena Allah itu Maha Penerima taubat sebelum ruh seorang hamba sampai di kerongkongan. Dan sesungguhnya di balik sakit itu terdapat hikmah dan pelajaran bagi siapa saja yang mau memikirkan-nya, di antaranya adalah:

1. Mendidik dan menyucikan jiwa dari keburukan.


Allah Ta'ala berfirman, artinya, “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy Syura: 30)

Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita. Imam al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melain-kan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.”

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”

2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.


Itu merupakan balasan dari sakit yang diderita sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan). At Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir secara marfu’, ”Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dicabik-cabik ketika di dunia karena iri melihat pahala orang-orang yang tertimpa cobaan.”

3. Allah dekat dengan orang sakit.

Dalam hadits qudsi Allah berfirman: ”Wahai manusia, si fulan hamba-Ku sakit dan engkau tidak membesuknya. Ingatlah seandainya engkau membesuknya niscaya engkau mendapati-Ku di sisinya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

4. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.

Sebagaimana dituturkan, bahwa kalau seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.

Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”

Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itupun baik baginya (juga).”

5. Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada Allah.

Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala’ itu.” Dalam surat Fushilat ayat 51 Allah berfirman, artinya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”

Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub 'Alaihis Salam yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)

6. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.

Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah menjauhkan diri dari kesesatan. Amat banyak hamba yang setelah di timpa sakit ia mau memulai bertanya persoalan agamanya, mulai mengerjakan shalat dan berbuat kebaikan, yang kesemua itu tak pernah ia lakukan sebelum menderita sakit. Maka sakit yang dapat memunculkan ketaatan-ketaatan pada hakekatnya merupakan kenikmatan baginya.

7. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.

Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?

8. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.

Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama, karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat. Apalagi pada penderita sakit yang telah sekian lama berobat kesana kemari namun tak kunjung sembuh. Maka dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk sembuhnya penyakit ini kecuali hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis, ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak dalam keadaan kritis.

9. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari). Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.

10. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang yang sakit.


Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala pada jasadnya melainkan Allah memerintah-kan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hambaKu siang dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian denganKu.”

11. Sakit dapat menghantarkan ke manzilah (kedudukan) tertentu di Surga.

Terkadang seorang hamba memiliki manzilah di Surga, akan tetapi amalnya tidak dapat mengantarkannya ke sana maka Allah menimpakan kepadanya berbagai ujian secara bertubi-tubi sehingga sampailah ia kepada manzilah tadi, sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Hibban dari Abu Hurairah.

12. Dengan sakit akan diketahui besarnya makna sehat.

Jika seseorang selalu dalam keadaan sehat maka ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang hamba sakit, ia ingin agar bisa segera pulih sebagaimana kondisi semula ketika sehat, sebab setelah sakit itulah ia akan tahu apa artinya sehat.

Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang sakit maka tentu masih ada orang lain yang lebih parah, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat sakit yang diderita dengan nikmat yang telah diterima dan dengan memikirkan faedah dan manfaat dari sakitnya. Dalam urusan agama seseorang harus memandang yang diatasnya agar tidak merasa bahwa dirinyalah orang yang terbaik, sedang dalam urusan dunia ia harus memandang orang yang ada di bawahnya agar menimbulkan rasa syukur dan melahirkan pujian kepada Allah.

13. Bagi seorang hamba (muslim) sakit merupakan rahmat bukan siksa.

Firman Allah, artinya. “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Menge-tahui.” (QS. an Nisaa:147)

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengenal Allah dan hikmahNya, meskipun demikian Allah tetap menyayanginya karena itu semua disebabkan ketidak tahuan, kelemahan dan kekurangannya.

(Dari nasyrah Darul Wathan, Min fawaidil maradh. Subakir Ahmad)
Dari Buletin Al-Sofwah

Thursday, May 07, 2009

Minggu yang melelahkan(lagi)


BISMILLAH...

Sungguh minggu yang melelahkan,

banyak tugas,,harus translate dari bahasa Inggris pula,,

Bu Wiwin marah-marah...

"Bu,maafkan kelas 2008A...."

Banyak ujian dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala...

Aku harus tabah,,,tugas masih banyak...

Minggu depan UTS...

Tugas-tugas makalah dari Bu Wiwin dan Bu Nurwiani masih menunggu...

Terima kasih Bu Wiwin dah ngingetin agar cepet2 ngerjain makalah...

Meski badan lelah dan letih,aku harus tetap semangat...

Fajar di depan mata...

Menanti untuk terus memberi semangat...

Temen2q semua,,,SEMANGAT....

Semoga hari-hariq tetap lancar....

Amin,,Amin,,Amin,,...

Lencana Facebook

Search